Sidoarjo, selidikkasus.my.id – Kepulan asap hitam kembali menyelimuti langit Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Sidoarjo. Asap tersebut berasal dari puluhan pabrik tahu yang diduga kembali menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar dalam proses produksi. Kondisi ini mengakibatkan udara menjadi pekat dan berbau menyengat, menimbulkan keresahan warga sekitar.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Sidoarjo, Bahrul Amig, membenarkan adanya temuan pembakaran limbah non-organik di area tersebut. Menurutnya, praktik berbahaya ini sebelumnya sempat dihentikan pada tahun 2022, namun kini kembali ditemukan dalam verifikasi lapangan.
"Ada laporan dari masyarakat, kami langsung tindak lanjuti dengan inspeksi ke lapangan. Hasilnya, memang ditemukan pembakaran sampah jenis plastik, karet, spon, hingga styrofoam untuk kebutuhan produksi tahu," ujar Amig, Rabu (14/5/2025).
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara, konsentrasi partikel polutan halus (PM2.5) di sekitar area cerobong terdeteksi melebihi batas aman. Polutan ini menyebar hingga radius 300 meter, dengan tingkat paparan mencapai 19,8, yang tergolong berbahaya bagi kesehatan.
“Angka itu sangat mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan seperti ISPA, bronkitis, hingga pneumonia,” jelasnya.
Sebagai langkah penanganan, DLHK Sidoarjo telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 600.4/1341/438.5.11/2025. Surat ini berisi larangan penggunaan bahan bakar berbasis limbah plastik atau bahan tidak ramah lingkungan di industri tahu wilayah Tropodo.
Amig menekankan bahwa pihaknya tidak melarang aktivitas industrinya, namun metode produksinya harus sesuai dengan standar lingkungan hidup. “Kami mendukung pelaku UMKM, termasuk industri tahu. Tapi operasionalnya harus ramah lingkungan. Ini demi keselamatan warga,” tegasnya.
DLHK juga menggandeng aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pemasok bahan bakar limbah ilegal yang memasok ke pabrik-pabrik tahu tersebut.
Ia mengingatkan bahwa praktik ini melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap ambang batas pencemaran udara bisa dikenai sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
Amig mengakui, penggunaan bahan bakar alternatif seperti kayu atau briket ramah lingkungan masih menjadi tantangan karena biayanya lebih tinggi. Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengorbankan kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
“Kami akan memperketat pengawasan dan tidak segan melakukan penindakan bila terbukti melanggar kembali,” pungkasnya. (Red.R)
.jpeg)
0 Komentar